Zaid bin Tsabit RA adalah seorang
sahabat Anshar, ia memeluk Islam bersama keluarganya pada masa awal Nabi
SAW hijrah ke Madinah, saat itu ia berusia 11 tahun. Ia beruntung
karena sebagai anak-anak, ia secara khusus di do’akan oleh
Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam.
Pada waktu terjadinya perang Badar tahun
2 hijriah, datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak
cerdas, penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang
hampir sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri
Rasulullah seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”
Bocah itu pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya murung karena
tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam perangnya yang
pertama.
Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul di belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.
Sang ibu, Nuwar binti Malik, menyusul di belakangnya. Tak kurang kesedihannya daripada putranya. Ingin sekali dia melihat putranya berangkat sebagai mujahid bersama kaum lelaki yang lain di bawah panji-panji Rasulullah. Ingin sekali dia menyaksikan putranya mengantikan kedudukan ayahnya yang telah tiada.
Rasulullah memandangi pemuda kecil
itu. Diam-diam beliau merasa kagum bercampur gembira. Diraihnya bahu
anak itu, ditepuk dengan penuh kasih sayang, sambil dihiburnya,
mengingat dia harus dikembalikan karena masih terlalu muda.
Begitu juga ketika perang Uhud, Nabi
Sallallahu A’laihi Wasallam masih melarang sekelompok anak muda berkuda
termasuk Zaid di dalamnya. Tetapi dua anak muda yang tubuhnya cukup
kekar dan mempunyai keahlian tertentu Nabi Sallallahu A’laihi
Wasallam mengijinkannya, yakni Rafi bin Khudaij dan Samurah bin Jundub.
Keduanya berusia limabelas tahun. Zaid bin Tsabit sendiri baru terjun
dalam pertempuran dalam perang Khandaq pada tahun ke 5 hijriah. Setelah
itu, ia hampir selalu menyertai berbagai pertempuran yang dilakukan
Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam.
Sebagai anak muda, ia mendapat perhatian
secara khusus oleh Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam. Ia seorang
yang cerdas dan mempunyai kemampuan tulis menulis, sehingga diberi tugas
menulis wahyu. Beliau juga memerintahkannya mempelajari beberapa bahasa
asing, yang bisa dikuasainya dalam waktu singkat. Ketika Nabi
Sallallahu A’laihi Wasallam mulai melakukan dakwah kepada raja-raja dan
kaisar di luar negeri Arab, Zaid bin Tsabit menjadi salah satu penulis
surat-surat dakwah tersebut karena kemampuan bahasanya.
Sebenarnya cukup banyak sahabat yang
diserahi Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam untuk menghafal dan menuliskan
wahyu yang turun secara bertahap, terkadang juga berkaitan dengan suatu
peristiwa atau sebagai jawaban dan solusi atas suatu masalah. Tetapi
beberapa orang saja yang dianggap sebagai “pemimpin-pemimpin” dalam
bidang ini, mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud,
Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Zaid bin Tsabit sendiri. Tiga
yang pertama adalah dari sahabat Muhajirin dan dua yang terakhir dari
sahabat Anshar.
Ketika pecah pertempuran Yamamah pada
masa Khalifah Abu Bakar, banyak sekali sahabat yang ahli baca (Qary) dan
ahli hafal (Huffadz) yang gugur menemui syahidnya. Hal yang cukup
mengkhawatirkan ini ‘ditangkap’ oleh Umar bin Khaththab. Segera saja
menghadap Abu Bakar dan mengusulkan agar segera menghimpun Al Qur’an
dari catatan-catatan dan hafalan-hafalan para sahabat yang masih hidup.
Tetapi Abu Bakar berkata tegas, “Mengapa aku harus melakukan sesuatu
yang tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”
“Demi Allah, ini adalah perbuatan yang baik!!” Kata Umar, agak sedikit memaksa.
Abu Bakar masih dalam keraguan. Ia
shalat istikharah, dan kemudian Allah membukakan hatinya untuk menerima
usulan Umar. Abu Bakar dan Umar bermusyawarah, dan mereka memutuskan
untuk menyerahkan tugas tersebut kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Zaid
menghadap Abu Bakar dan diberikan tugas tersebut, reaksinya sama
seperti Abu Bakar, ia berkata “Mengapa aku harus melakukan sesuatu yang
tidak pernah diperbuat Rasulullah SAW (yakni, bid’ah) ?”
Abu Bakar dan Umar menjelaskan tentang
keadaan yang terjadi dan bahaya yang mungkin bisa terjadi, dan akhirnya
Abu Bakar berkata, “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, dan kami
tidak pernah meragukan dirimu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi
Sallallahu A’laihi Wasallam untuk menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah
ayat-ayat Qur’an tersebut….”
Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah,
ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku
untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas
menghimpun al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut!!”
Seperti halnya Abu Bakar, akhirnya Zaid
bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi kelangsungan
Islam di masa mendatang.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal
al Qur’an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi Sallallahu A’laihi
Wasallam sendiri sering mengecek hafalannya. Namun demikian, ia tidak
mau menggunakan hafalannya saja. Ia berjalan menemui para sahabat yang
mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang terserak pada
kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga
membandingkannya dengan hafalan para sahabat tersebut. Setelah semua
terkumpul dan dicek ulang dengan hafalannya dan juga hafalan para
sahabat, Zaid menuliskannya lagi dalam lembaran-lembaran dan
menyatukannya dalam satu ikatan. Semuanya disusun menurut
urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah
di-imla’-kan (didiktekan) Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam kepadanya.
Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin
Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir
satu tahun untuk menyelesaikannya.
Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam
bacaan (qiraat sab’ah). Hal ini memang diminta Nabi SAW sendiri untuk
kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda,
sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut
sudah dianggap benar. Di masa Nabi SAW hidup dan Islam masih di sekitar
jazirah Arab, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi ketika wilayah Islam
makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara
pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab,
hal itu bisa menimbulkan perpecahan.
Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam
sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan sekitarnya, benih
berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat
lainnya. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan
untuk menyatukan mush’af dalam satu bacaan/qiraat saja, dan
menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin
meluas saja. Untuk qiraat sab’ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya
diketahui para ulama dan ahlinya saja.
Khalifah Utsman tidak serta-merta
menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah, sebagaimana
yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan
mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya
Qiraat Sab’ah, akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu
Bakar, khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek
besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi
cikal bakal dari hampir seluruh Mush’af Al Qur’an yang sekarang beredar
di antara kita. Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit
RA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar